Dalam merencanakan kehidupan
berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah
menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara
syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan)
kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya
khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping
hidupnya.
Pengertian
khitbah
Adalah
permintaan atau pernyataan seorang laki-laki atas kuasa perempuan untuk
dinikahinya kelak kepada keluarga perempuan. Baik dilakukan secara langsung
oleh laki-laki tersebut, atapun melewati perantara pihak lain yang dipercaya
sesuai dengan ketentuan agama atau syar’i. Khithbah itu sendiri masih
harus dijawab “iya” atau “tidak” jika telah dijawab “iya” maka wanita tersebut
resmi sebagai makhtubah atau wanita yang telah dilamar.
Adat
kebiasaan
Ulama
fikih bersepakat jika sempurna syarat dan rukun khitbah, maka akad itu hanyalah
sebatas akad janji pernikahan. Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal
lantaran sudah dikhitbah. Dan amat besar kesalahan kita ketika menyaksikan
pemandangan pasangan yang sudah bertunangan atau sudah berkhitbah, lalu
beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal layaknya suami istri di
depan mata, lantas kita diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan,
"Ah biar saja, toh mereka sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah
jelas siapa yang harus bertanggungjawab." Padahal dalam kaca mata syariah,
semua itu tetap terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau
sudah dilamar, hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang
sakit saja yang tega bersikap permisif seperti itu. Padahal apapun yang
dilakukan oleh sepasang tunangan, bila tanpa ada ditemani oleh mahram, maka hal
itu tidak lain adalah kemungkaran yang nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan
saja, apalagi malah memberi semangat kepada keduanya untuk melakukan hal-hal
yang telah diharamkan Allah.
Hikmah
Disyari’atkanya Khitbah
Seperti
halnya akad nikah dalam kacamata islam, akad khitbah juga mendapatkan perhatian
yang sangat besar. Sebab manusia merupakan makhluk yang paling dimuliakan di
muka bumi ini. Alloh SWT berfirman:
"و لقد كرّم بني ادم و حملناهم من الطيبات و فصلناهم على كثير ممّن خلقنا تفصيلا" سورة الاسراء, اية 70
"و لقد كرّم بني ادم و حملناهم من الطيبات و فصلناهم على كثير ممّن خلقنا تفصيلا" سورة الاسراء, اية 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan(1), Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
|
(1)Maksudnya: Allah memudahkan bagi
anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh
penghidupan.
Akad ini bertujuan agar tidak ada
orang lain mengajukan jalinan hubungan dengan perempuan tersebut (dalam
hubungan yang berkelanjutan kepernikahan). Sehingga tidak mengakibatkan
pencemaran hubungan antara kedua belah pihak atau salah satu pihak. Oleh
karena itulah khitbah disyari’atkan dalam islam untuk merealisasikan tujuan
yang mulia ini dan moral yang besar.
Hukum
Melihat Wanita yang Dikhitbah
Agama islam membolehkan kepada
seorang laki-laki untuk melihat perempuan yang diinginkanya untuk menikah.
Bahkan dianjurkan dan disunahkan karena penglihatan orang yang melamar kepada
perempuan yang di khitbah adalah salah satu penyebab hubungan akan langgeng,
sebab dari sana ada kemungkinan kecocokan antara keduanya sebelum melanjutkan
hubungan lebih jauh ke pelaminan.
Rasulullah SAW pernah bertanya
kepada sahabat Mughiroh Bin Syu’bah yang telah mengkhitbah seorang perempuan
“apakah kamu sudah melihatnya?” Syu’bah menjawab “belum” kemudian Nabi
bersabda “lihatlah dia terlebihdahulu, sesungguhnya itu akan menciptakan
hubungan antara kalian langgeng.” Maksudnya ini akan memberikan sebuah rasa
emosional yang mungkin akan menimbulkan kecocokan.
Dibolehkanya melihat perempuan
saat khitbah, dalam syariat sedangkan hukum asal memandang perempuan ajnabi
adalah haram, karena darurat maka diperbolehkanlah melihatnya.
|
Karena merupakan kewajiban setiap seseorang yang akan
menikah mengetahui yang akan dinikahinya
Dalam syari’at islam melihat perempuan ajnabi hukumnya
adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat seperti oprasi (dalam kedokteran).
Begitu juga dalam khitbah dibolehkanya melihat makhtubah, pernikahan merupakan
akad yang sangat sakral, karena perempuan yang akan dinikahi akan menjadi ibu
dari anak-anak kita. Menjadi bagian belahan jiwa kita mengarungi kehidupan
bersama menuju kehidupan yang bahagia. Bagaimana kita bisa seenaknya saja asal
nikah? Kita tidak tahu menahu calon belahan jiwa kita nanti dan ibu dari
anak-anak kita?
Batasan Diperbolehkanya
Melihat Makhtubah
- Jumhurul ulama (syafi’i, maliki, hambali) berpendapat bahwa yang diperbolehkan dilihat oleh khotib adalah wajah dan kedua telapak tangan saja, tidak lebih. Karena wajah menunjukan semua keindahan. Dari wajah, kita bisa melihat sifat dan kepribadian seseorang. Jari dan telapak tangan juga menunjukan kesuburan badan. Jika tangannya besar atau kecil menunjukan badanya juga gemuk atau kurus. Dengan dalil firman Alloh SWT “و لا يبدين زينتهن الّا ما ظهر منها” ditafsiri oleh Ibnu ‘Abas firman Alloh SWT-ما ظهر منها- dengan wajah dan kedua telapak tangan.
- Iman Hambali
berpendapat bahwa diperbolehkan melihat makhtubah yang biasanya kelihatan
saja, seperti muka, kedua telapak tangan, kepala, lutut, kedua telapak
tangan dan sebagainya yang biasanya bisa dilihat pada umumnya. Dan tidak
boleh melihat yang biasanya tertutup, seperti dada, bahu, dan sebagainya.
Dengan dalil hadis yang diriwayatkan oleh sa’id dari Sufyan dari Amer bin
Dinar dari Abi ja’far, bahwasanya dia berkata: “ Sahabat Umar bin Khatab
ra. melamar anak perempuan sahabat Ali ra. yang diketahui oleh ……………
berdalil juga dengan hadis bahwasnaya Nabi SAW - Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang diperbolehkan dilihat dari seorang yang di lamar adalah wajah, kedua telapak tangan, kedua telapak kaki, dantidak diperbolehkan selaain itu untuk melihatnya. Semua yang telah disebutkan tadi sudah cukup untuk mengetahui keadaan badan yang lainnya, dengan kata lain sudah itu semua cukup mewakili semua anggota tubuh yang lain. Jika lebih dari itu akan memungkinkan adanya yang menyalah gunakannya, bukan untuk maslahah tapi untuk kepentingan yang lain. Mereka berdalil dengan diperbolehkanya terlihat muka dan kedua telapak kaki ketika salat dan haji.
- Madzhab dzohiryah berpendapat semua anggota badan yang dikhitbah boleh dilihat. Enak sekali kalo seperti itu mungkin akan banyak yang berpindah madzhab hehe.. mereka berdalil dengan dzohir hadis dan umumul hadis berkata rosulululloh “انظر اليها” lihatlah dia (makhtubah) kalimat ini masih umum tidak menyebutkan anggota badan secara khusus.
Jumhur el-ulama menentang keras pendapat
madzhab dzohiriyah, bahwasanya pendapat mereka bertentangan dengan ijma’
ulama dan bertentangan dengan ‘aqoid fiqhiyah diperbolehkanya
melihat mkhtubah karena keadaan darurat untuk permasalahan kedua belah
pihak.
Dari beberapa pendapat yang telah disebutkan pendapat
yang rojih adalah mereka yang berpendapat diperbolehkanya melihat makhtubah terbatas
dengan muka, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki. Karena ini semua
sudah bisa mewakili seluruh anggota tubuh yang lainya, khotib tahu
keistimewaan badanya yang menarik, suaranya yang halus, dan pemikiranya yang
menarik. Sehingga dari sana akan tumbuh butur-butir cinta kesenangan dan
kecocokan.
Waktu Diperbolehkanya Melihat Makhtubah
Ulama jumhur berpendapat bahwa waktu
dioerbolehkanya melihat makhtubah adalah ketika seorang laki-laki
tersebut (khotib) memang punya azam yang kuat untuk menikahinya
serta mempunyai kemampuan dalam segi harta dan fisik, dengan syarat perempuan
yang akan dilamar masih single tidak mempunyai suami. Dengan kata lain
diperbolehkanya ketika saat khitbah berlangsung. Sedang imam Syafi’I memiliki
pendapat berbeda; lebih utama melihatnya sebelum khitbah dengan niat akan
menikahinya tanpa sepengetahuan si perempuan ataupun wali perempuan tersebut,
karena tidak disyarat si perempuan
tersebut memberikan izin kepada seorang yang akan melamar atau seizing wali
perempuan tersebut. Pendapat ini lebih afdol untuk permaslahatan
bersama.
Hukum makhtubah melihat khotib
Seorang
perempuan yang dilamar juga mempunyai hak yang sama dengan seorang laki-laki yaitu
melihat seorang yang akan menjadi sebelum melakukan akad nikah. Ini, dikiaskan
dengan pelamar laki-laki yang disebutkan dalam hadis, Nabi SAW bersabda
”lihatlah dia terlebih dahulu, sesungguhnya
itu akan menciptakan hubungan antara kalian langgeng. Maksudnya ini akan
memberikan sebuah rasa emosional yang mungkin akan menimbulkan kecocokan. Kelanggengan
daya tarik antara keduanya tidak dibatasi hanya seorang laki-laki, bahkan
keduanya harus mempunyai rasa ketertarikan dan kecocokan satu sama lain.
Sepertihalnya seorang laki-laki yang mencari perempuan yang akan dinikahinya
sesuai kriteria dan rasa kecocokan, begitu juga perempuan mencari seorang
laki-laki untuk jadi suaminya berdasarkan kecocokanya menurut kriterianya.
Kalaupun syari’at belum menjelaskan
secara terperinci tentang melihatnya perempuan kepada yang melamarnya, itu
karena gaya hidup laki-laki pada umumnya sering keluar dari rumah, di pasar, di
tempat kerja, dan di tempat0tempat yang biasanya ramai. Ini bagi si perempuan
untuk mengetahui dan melihat seorang laki-laki sangatlah mudah. Berbeda dengan
seorang perempuan yang biasanya di rumah tidak pergi kemana-mana, sehingga
sulit bagi laki-laki untuk melihatnya apa lagi mengetahuinya. Lhaa kalo
sekarang? Apa yang terjadi?
Syari’ah islam telah mengisyaratkan kepada
laki-laki yang akan melamar seorang perempuan, bahwasanya lebih utama melihat
perempuan yang dikhitbahnya ketika acara pelamaran, karena seorang perempuan
tidak memiliki kebebasan setelah pernikahan. Setelah pernikahan seorang
laki-lakilah yang memiki hak talak bukan pada kuasa perempuan.
Khalwah dengan Tunangan
Pengertian
khalwah sendiri adalah menyendiri atau berdua-duaan dengan ajnabi/beda mahrom.
Syariat islam tidak memperbolehkan khalwah seperti ini, hukumnya haram. Ulama
juga sudah bersepakat bahwa tidak diperbolehkan melihat perempuan yang
dilamarnya dengan khalwah. Sudah
terang dala hadis menyebutkan, Nabi SAW mengatakan “janganlah
berkhalwah/menyendiri dengan seorang perempuan(bukan mahrom) sesungguhnya yang
ketiga bersama mereka berdua adalah syaitan” ini, berlaku juga terhadap
seseorang sudah bertunangan, karena seorang yang telah bertunangan belum halal
baginya layaknya suami-istri. Duduk bersama, jalan bareng, ngobrol bareng, dan
lain sebagainya. Itu semua boleh asal dengan syarat ada orang ketiga yaitu
mahrom perempuanya, atau juga dibawah pantauan keluarga atau kerabat perempuan
tersebut.
Cara seperti merupakan cara yang sedang atau
pertengahan. Sebagian dari mereka ada yang sangat keras terhadap masalah ini,
mereka tidak memeperbolahkan sama sekali kepada pelamar untuk melihat perempuan
yang dilamarnya, kecuali setelah menikah ada kebebasan penuh bagi sang suami.
Ada juga yang berpendapat memperbolehkan pelamar berkhalwah dan
berinteraksi dengan makhtubah di dalam rumah ataupun diluar rumah, siang
ataupun malam, secara terang-terangan ataupun tersembunyi. Tanpa hijab ataupun
pembatas antara keduanya. Ini, sangat bertentangan dengan hukum syari’at
yang menyatakan bahwa tidak dihalalkan
seorang perempuan bagi laki-laki kecuali setelah akad nikah yang syah. Sebelum
akad nikah hukum perempuan tersebut masih ajnabiyah bagi laki-laki tersebut.
Adapun syariat telah membolehkan laki-laki melihat
perempuan yang dilamarnya, itu karena demi kemaslahatan. Tidak diperbolehkan
juga melihat dengan foto yang nantinya aka mengakibatkan dhoror atau kerusakan. Diharamkan bagi mereka berkhalwah
kecuali dengan adanya mahrom. Khalwah di sini dimaksudkan untuk ta’aruf
saling kenal satu sama lain sebelum melanjutkan ke pelaminan.
Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan sesuatu, itu
semua demi kepentingan hambanya untuk menjaga dari dhoror atau
kerusakan, adapun juga ketika Allah membolehkan sesuatu atau memerintahkannya,
sesungguhnya itu untuk kemaslahatan hambanya. Akal kita memang lemah untuk
mengetahui hikmah dibalik semua itu, tapi keyakinan akan hal itu harus ada.
Sumber: Ahwal Syahsiyyah, Muqoror Syari’ah Islamiyah tingkat
II tahun 2013
Darrasah, 7 Februari 2013
d
Darrasah, 7 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar