11 Feb 2013

KHITBAH



Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.

Pengertian khitbah
Adalah permintaan atau pernyataan seorang laki-laki atas kuasa perempuan untuk dinikahinya kelak kepada keluarga perempuan. Baik dilakukan secara langsung oleh laki-laki tersebut, atapun melewati perantara pihak lain yang dipercaya sesuai dengan ketentuan agama atau syar’i. Khithbah itu sendiri masih harus dijawab “iya” atau “tidak” jika telah dijawab “iya” maka wanita tersebut resmi sebagai makhtubah atau wanita yang telah dilamar.
Adat kebiasaan
Ulama fikih bersepakat jika sempurna syarat dan rukun khitbah, maka akad itu hanyalah sebatas akad janji pernikahan. Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan amat besar kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah bertunangan atau sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal layaknya suami istri di depan mata, lantas kita diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan, "Ah biar saja, toh mereka sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah jelas siapa yang harus bertanggungjawab." Padahal dalam kaca mata syariah, semua itu tetap terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah dilamar, hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang sakit saja yang tega bersikap permisif seperti itu. Padahal apapun yang dilakukan oleh sepasang tunangan, bila tanpa ada ditemani oleh mahram, maka hal itu tidak lain adalah kemungkaran yang nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan saja, apalagi malah memberi semangat kepada keduanya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah.
Hikmah Disyari’atkanya Khitbah
Seperti halnya akad nikah dalam kacamata islam, akad khitbah juga mendapatkan perhatian yang sangat besar. Sebab manusia merupakan makhluk yang paling dimuliakan di muka bumi ini. Alloh SWT berfirman:
"و لقد كرّم بني ادم
و حملناهم من الطيبات و فصلناهم على كثير ممّن خلقنا تفصيلا" سورة الاسراء, اية 70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan(1), Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
(1)Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Akad ini bertujuan agar tidak ada orang lain mengajukan jalinan hubungan dengan perempuan tersebut (dalam hubungan yang berkelanjutan kepernikahan). Sehingga tidak mengakibatkan pencemaran hubungan antara kedua belah pihak atau salah satu pihak. Oleh karena itulah khitbah disyari’atkan dalam islam untuk merealisasikan tujuan yang mulia ini dan moral yang besar.
Hukum Melihat Wanita yang Dikhitbah
Agama islam membolehkan kepada seorang laki-laki untuk melihat perempuan yang diinginkanya untuk menikah. Bahkan dianjurkan dan disunahkan karena penglihatan orang yang melamar kepada perempuan yang di khitbah adalah salah satu penyebab hubungan akan langgeng, sebab dari sana ada kemungkinan kecocokan antara keduanya sebelum melanjutkan hubungan lebih jauh ke pelaminan.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada sahabat Mughiroh Bin Syu’bah yang telah mengkhitbah seorang perempuan “apakah kamu sudah melihatnya?” Syu’bah menjawab “belum” kemudian Nabi bersabda “lihatlah dia terlebihdahulu, sesungguhnya itu akan menciptakan hubungan antara kalian langgeng.” Maksudnya ini akan memberikan sebuah rasa emosional yang mungkin akan menimbulkan kecocokan.
Dibolehkanya melihat perempuan saat khitbah, dalam syariat sedangkan hukum asal memandang perempuan ajnabi adalah haram, karena darurat maka diperbolehkanlah melihatnya.
Karena merupakan kewajiban setiap seseorang yang akan menikah mengetahui yang akan dinikahinya
Dalam syari’at islam melihat perempuan ajnabi hukumnya adalah haram. Kecuali dalam keadaan darurat seperti oprasi (dalam kedokteran). Begitu juga dalam khitbah dibolehkanya melihat makhtubah, pernikahan merupakan akad yang sangat sakral, karena perempuan yang akan dinikahi akan menjadi ibu dari anak-anak kita. Menjadi bagian belahan jiwa kita mengarungi kehidupan bersama menuju kehidupan yang bahagia. Bagaimana kita bisa seenaknya saja asal nikah? Kita tidak tahu menahu calon belahan jiwa kita nanti dan ibu dari anak-anak kita?
Batasan Diperbolehkanya Melihat Makhtubah
  1. Jumhurul ulama (syafi’i, maliki, hambali) berpendapat bahwa yang diperbolehkan dilihat oleh khotib adalah wajah dan kedua telapak tangan saja, tidak lebih. Karena wajah menunjukan semua keindahan. Dari wajah, kita bisa melihat sifat dan kepribadian seseorang. Jari dan telapak tangan juga menunjukan kesuburan badan. Jika tangannya besar atau kecil menunjukan badanya juga gemuk atau kurus. Dengan dalil firman Alloh SWT “و لا يبدين زينتهن الّا ما ظهر منها” ditafsiri oleh Ibnu ‘Abas firman Alloh SWT-ما ظهر منها- dengan wajah dan kedua telapak tangan.
  2. Iman Hambali berpendapat bahwa diperbolehkan melihat makhtubah yang biasanya kelihatan saja, seperti muka, kedua telapak tangan, kepala, lutut, kedua telapak tangan dan sebagainya yang biasanya bisa dilihat pada umumnya. Dan tidak boleh melihat yang biasanya tertutup, seperti dada, bahu, dan sebagainya. Dengan dalil hadis yang diriwayatkan oleh sa’id dari Sufyan dari Amer bin Dinar dari Abi ja’far, bahwasanya dia berkata: “ Sahabat Umar bin Khatab ra. melamar anak perempuan sahabat Ali ra. yang diketahui oleh ……………
    berdalil juga dengan hadis bahwasnaya Nabi SAW
  3. Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang diperbolehkan dilihat dari seorang yang di lamar adalah wajah, kedua telapak tangan, kedua telapak kaki, dantidak diperbolehkan selaain itu untuk melihatnya. Semua yang telah disebutkan tadi sudah cukup untuk mengetahui keadaan badan yang lainnya, dengan kata lain sudah itu semua cukup mewakili semua anggota tubuh yang lain. Jika lebih dari itu akan memungkinkan adanya yang menyalah gunakannya, bukan untuk maslahah tapi untuk kepentingan yang lain. Mereka berdalil dengan diperbolehkanya terlihat muka dan kedua telapak kaki ketika salat dan haji.
  4. Madzhab dzohiryah berpendapat semua anggota badan yang dikhitbah boleh dilihat. Enak sekali kalo seperti itu mungkin akan banyak yang berpindah madzhab hehe.. mereka berdalil dengan dzohir hadis dan umumul hadis berkata rosulululloh “انظر اليها” lihatlah dia (makhtubah) kalimat ini masih umum tidak menyebutkan anggota badan secara khusus.
Jumhur el-ulama menentang keras pendapat madzhab dzohiriyah, bahwasanya pendapat mereka bertentangan dengan ijma’ ulama dan bertentangan dengan ‘aqoid fiqhiyah diperbolehkanya melihat mkhtubah karena keadaan darurat untuk permasalahan kedua belah pihak.
Dari beberapa pendapat yang telah disebutkan pendapat yang rojih adalah mereka yang berpendapat diperbolehkanya melihat makhtubah terbatas dengan muka, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki. Karena ini semua sudah bisa mewakili seluruh anggota tubuh yang lainya, khotib tahu keistimewaan badanya yang menarik, suaranya yang halus, dan pemikiranya yang menarik. Sehingga dari sana akan tumbuh butur-butir cinta kesenangan dan kecocokan.
Waktu Diperbolehkanya Melihat Makhtubah
Ulama jumhur berpendapat bahwa waktu dioerbolehkanya melihat makhtubah adalah ketika seorang laki-laki tersebut (khotib) memang punya azam yang kuat untuk menikahinya serta mempunyai kemampuan dalam segi harta dan fisik, dengan syarat perempuan yang akan dilamar masih single tidak mempunyai suami. Dengan kata lain diperbolehkanya ketika saat khitbah berlangsung. Sedang imam Syafi’I memiliki pendapat berbeda; lebih utama melihatnya sebelum khitbah dengan niat akan menikahinya tanpa sepengetahuan si perempuan ataupun wali perempuan tersebut, karena tidak  disyarat si perempuan tersebut memberikan izin kepada seorang yang akan melamar atau seizing wali perempuan tersebut. Pendapat ini lebih afdol untuk permaslahatan bersama.
Hukum makhtubah melihat khotib
Seorang perempuan yang dilamar juga mempunyai hak yang sama dengan seorang laki-laki yaitu melihat seorang yang akan menjadi  sebelum melakukan akad nikah. Ini, dikiaskan dengan pelamar laki-laki yang disebutkan dalam hadis, Nabi SAW bersabda ”lihatlah dia terlebih dahulu, sesungguhnya itu akan menciptakan hubungan antara kalian langgeng. Maksudnya ini akan memberikan sebuah rasa emosional yang mungkin akan menimbulkan kecocokan. Kelanggengan daya tarik antara keduanya tidak dibatasi hanya seorang laki-laki, bahkan keduanya harus mempunyai rasa ketertarikan dan kecocokan satu sama lain. Sepertihalnya seorang laki-laki yang mencari perempuan yang akan dinikahinya sesuai kriteria dan rasa kecocokan, begitu juga perempuan mencari seorang laki-laki untuk jadi suaminya berdasarkan kecocokanya menurut kriterianya.
Kalaupun syari’at belum menjelaskan secara terperinci tentang melihatnya perempuan kepada yang melamarnya, itu karena gaya hidup laki-laki pada umumnya sering keluar dari rumah, di pasar, di tempat kerja, dan di tempat0tempat yang biasanya ramai. Ini bagi si perempuan untuk mengetahui dan melihat seorang laki-laki sangatlah mudah. Berbeda dengan seorang perempuan yang biasanya di rumah tidak pergi kemana-mana, sehingga sulit bagi laki-laki untuk melihatnya apa lagi mengetahuinya. Lhaa kalo sekarang? Apa yang terjadi?
Syari’ah islam telah mengisyaratkan kepada laki-laki yang akan melamar seorang perempuan, bahwasanya lebih utama melihat perempuan yang dikhitbahnya ketika acara pelamaran, karena seorang perempuan tidak memiliki kebebasan setelah pernikahan. Setelah pernikahan seorang laki-lakilah yang memiki hak talak bukan pada kuasa perempuan.
Khalwah dengan Tunangan
Pengertian khalwah sendiri adalah menyendiri atau berdua-duaan dengan ajnabi/beda mahrom. Syariat islam tidak memperbolehkan khalwah seperti ini, hukumnya haram. Ulama juga sudah bersepakat bahwa tidak diperbolehkan melihat perempuan yang dilamarnya dengan khalwah. Sudah terang dala hadis menyebutkan, Nabi SAW mengatakan “janganlah berkhalwah/menyendiri dengan seorang perempuan(bukan mahrom) sesungguhnya yang ketiga bersama mereka berdua adalah syaitan” ini, berlaku juga terhadap seseorang sudah bertunangan, karena seorang yang telah bertunangan belum halal baginya layaknya suami-istri. Duduk bersama, jalan bareng, ngobrol bareng, dan lain sebagainya. Itu semua boleh asal dengan syarat ada orang ketiga yaitu mahrom perempuanya, atau juga dibawah pantauan keluarga atau kerabat perempuan tersebut.
Cara seperti merupakan cara yang sedang atau pertengahan. Sebagian dari mereka ada yang sangat keras terhadap masalah ini, mereka tidak memeperbolahkan sama sekali kepada pelamar untuk melihat perempuan yang dilamarnya, kecuali setelah menikah ada kebebasan penuh bagi sang suami. Ada juga yang berpendapat memperbolehkan pelamar berkhalwah dan berinteraksi dengan makhtubah di dalam rumah ataupun diluar rumah, siang ataupun malam, secara terang-terangan ataupun tersembunyi. Tanpa hijab ataupun pembatas antara keduanya. Ini, sangat bertentangan dengan hukum syari’at yang  menyatakan bahwa tidak dihalalkan seorang perempuan bagi laki-laki kecuali setelah akad nikah yang syah. Sebelum akad nikah hukum perempuan tersebut masih ajnabiyah bagi laki-laki tersebut.
Adapun syariat telah membolehkan laki-laki melihat perempuan yang dilamarnya, itu karena demi kemaslahatan. Tidak diperbolehkan juga melihat dengan foto yang nantinya aka mengakibatkan dhoror  atau kerusakan. Diharamkan bagi mereka berkhalwah kecuali dengan adanya mahrom. Khalwah di sini dimaksudkan untuk ta’aruf saling kenal satu sama lain sebelum melanjutkan ke pelaminan.
Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan sesuatu, itu semua demi kepentingan hambanya untuk menjaga dari dhoror atau kerusakan, adapun juga ketika Allah membolehkan sesuatu atau memerintahkannya, sesungguhnya itu untuk kemaslahatan hambanya. Akal kita memang lemah untuk mengetahui hikmah dibalik semua itu, tapi keyakinan akan hal itu harus ada.

Sumber: Ahwal Syahsiyyah, Muqoror Syari’ah Islamiyah tingkat II tahun 2013
Darrasah, 7 Februari 2013
 d
Darrasah, 7 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar