14 Feb 2013

ISTI'JARUL ARHAM



Sebeelum masuk dalam pembahasan, saya ingin membuat sebuah pernyataan terlebih dahulu. Apa sebenarnya tujuan dari istijarul arham (penyewaan rahim) atau dalam istilah lain ummul badilah (ibu pengganti). Dalam kesempatan pembahasan kali ini kita akan bertanya, kepada siapa anak itu dinasabkan? Apakah dia anak dari seorang ibu yang melahirkanya? Atau anak tersebut dinasabkan kepada pemilik ovum yang menitipkan kepada perempuan yang mengandung itu?


Sebelum mengerucut kepembahasan kita harus mengetahui apa pengertian dari istijarul arham. Istijarul arham adalah penitipan sell ovum dan sperma dengan cara disuntukan kedalam rahim perempuan lain sampai bisa mengandung darinya dan akhirnya melahirkan dari hasil penitipan sell tersebut. Dengan imbalan uang ataupun tidak karena sebab-sebab tertentu. Adapun alasan mengapa ada perempuan yang menitipkan sell ovumnya kepada perempuan lain adalah karena rahimnya lemah sehingga tidak bisa hamil, atau juga karena saking sayangnya terhadap tubuh sendiri (menjaga kecantikan) atau juga karena takut hamil dan lain sebagainya. Kejadian seperti ini sudah banyak terjadi di ’Barat’.

Dalam kacamata agama, semua perbuatan manusia memiliki hukum syar’i. Semua itu tidak luput dari lima hukum; wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Sekarang masuk kemanakah hukum istijarul arham? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah lebih baiknya saya menjelaskan suatu perkaya yang sangat penting. Betapa luas dan subur fikih islam itu. Menjelaskan suatu hukum yang mencakup semua kehidupan manusia. Tidak ada yang luput darinya.

Sebenarnya masalah ini sudah dibahas oleh ulama salaf  abad dua puluh, dengan istilah yang berbeda. Salah satu dari beberapa kitab yang menjelaskan masalah ini adalah fikih imam Syafi’i, pengarangnya wafat sekitar 350 tahun yang lalu. Nama kitab tersebut adalah “حاشية البرماوي على شرح الغاية البن قاسم الغزي” yang dikarang pada awal jumad el-tsaniah tahun 1074 H. kita menemukan mualif kitab tersebut mengatakan “ketika dalam suatu pelajaran ada seseorang bertanya. Jika ada seseorang memiliki dua budak perempuan, kemudia dia melakukan hubungan suami-istri dengan salah satu dari budaknya sampai akhirnya hamil. Kemudian dia ambil sell yang ada dalam budak yang hamil tersebut yang kemudian diletakan di rahim budak yang satunya lagi, sampai pada akhirnya hamil dan melahirkan anak. Siapakah yang menjadi ibu dari anak tersebut? Apakah budak yang mempunyai sell ovum atau budak yang melahirkan anak tersebut? Para ulama kebingungan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Syeikh الشبرامليسي menjawab, bahwa perempuan yang melahiirkan tersebut tidak bisa menjadi ibu dari anak yang telah dia lahirkan, karena anak yang dilahirkanya bukan hasil dari ovumnya dan mani tuanya. Adapun yang sangat masuk akal dan bisa diterima oleh akal kita bahwa anak tersebut dinasabkan kepada perempuan pertama, dialah ibu dari anak tersebut, karena anak tersebut berasal dari hasil ovumnya dan sperma tuanya.” Dari penjelasan kalimat diatas, sudah jelas bahwa ulama fikih terdahulu telah berpendapat bahwasanya janin dihasilkan dari pembuahan antara zat ovum perempuan dan sperma laki-laki.

Sekarang kita masuk dalam pertanyaan awal, apa hukum syar’i ummul badilah?
Masalah ummul badilah atau istijarul arham masuk kedalam bab muharromaat dengan alasan dibawah ini:
  1. Tidak adanya hubungan suami-istri antara yang punya sperma dengan perempuan yang punya rahim.
Dalam syari’at islam, permasalahan ini sudah menjadi sebuah keputusan syari’at Allah yang mutlak, bahkan syari’at Allah semuanya. Adanya seorang anak yang disifati oleh syari’at adalah anak dari hasil hubungan suami-istri yang syah sesuai koridor syari’at islam, yaitu sesuai dengan nash qur’an dan hadis.
Didalam permasalah yang kita temukan sekarang ini, antara laki-laki pemilik sperma dan perempuan pemilik rahim tidak memiliki hubungan suami-istri yang sah secara syar’i. Hamilnya seorang perempuan tersebut adalah hasil dari sperma laki-laki yang bukan suaminya, adapun hubungan antara sperma laki-laki dan ovum perempuan pertama yang disuntikan kedalam rahim ajnabiyah bukanlah termasuk dalam koridor syari’at islam, sehingga permasalahan ini haram hukumnya bila dilakukan.
Allah SWT berfirman:
و الله جعل لكم من أنفسكم ازواجا و جعل لكم من ازواجكم بنين و حفدة و رزقكم من الطيبات أفبالباطل يؤمنون و بنعمته الله هم يكفرون
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?"

  1. Kaidah fikih yang menjelaskan hubungan antara hak berketurunan dari rahim tertentu dan dihalalkanya memanfaatkan anggota tubuh pemilik rahim . dalam permasalahan disini tidak ada hubungan seperti ini.
Kaidah fikih itu berbunyi: “Setiap seseorang yang mempunyai hak istimta’ jinsi dengan seorang perempuan maka dia memiliki hak juga di dalam memanfaatkan rahim perempuan tersebut untuk hamil. Dan setiap orang yang tidak memiliki hak istimta’ jinsi dengan sorang perempuan maka dia tidak  mempunyai hak memanfaatkan rahimnya unntuk hamil.”
Nabi SAW bersabda: “الولد للفراش و للعاهر الحجر” maksudnya adalah seorang suami-istri dibolehkan memiliki anak dengan hubungan yang syar’i, jika tidak ada hubungan secara syar’i maka baginya li'an.
  1. Rahim adalah hak mutlak khusus bagi suami, tidak ada hak selainya.
Sudah dijelaskan dalam syari’at islam, ada sesuatu yang bisa dijual/dibeli, disewakan, atau bahkan dihibahkan. Seperti; makanan, minuman, baju, mobil, rumah, tanah kitab, dan lain sebagainya.
Ada juga yang tidak bisa diperjualbelikan, disewakan, ataupun dihibahkan, yaitu sesuatu yang sangat khusus. Tidak diperbolehkan kepada sang pemilik untuk memberikan, menjualbelika, meminjamkan, menyewakan, menyodaqohkan kepada orang lain. Seperti; istimta’ rojul dengan istrinya. Maksudnya ada sesuatu yang khusus untuk sang suami yang tidak diperbolehkan selainya kepada istrinya menikmati atau memanfaatka (istimta’) tubuh istrinya; menciumnya, melakukan hubungan badan atau yang lainya yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab fikih islam. Tidak diperbolehkan juga bagi suami mempersilahkan orang lain menikmati (istimta’) istrinya, seperti halnya seorang isrti juga tidak boleh mempersilahkan orang lain menikmati (istimta’) selain suaminya sendiri. Hak pemanfaatan rahim sangatlah khusus, hanya suami yang diperbolehkan memanfaatkanya.
Dalam permasalahan ini, kita bisa mengatakan bahwa masalah ini dipersamakan hukunya dengan zina. Karena hak rahim adalah hak khusus bagi suami. Tetapi bukan makna zina yang hakiki, karena zina yang hakiki adalah adanya hubungan laki-laki dan perempuan badan secara langsung tanpa ada ikatan pernikahan secara syar’i.
  1. Syari’ai islam tidak memperbolehkan segala sesuatu yang mengakibatkan adanya perselisihan antar manusia.
Syari’at islam mengharamkan semua perkara yang mengakibatkan perdebatan/perselisihan antara seseorang dengan yang lainya didalam bermasyarakat. Alloh berfirman: ” janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu” surat al-anfal ayat 46.
Dan jika syari’at melarang segala sesuatu yang menyebabkan perselisihan antar manusia, maka ta’jirul arham akan mengakibatkan banyak perselisihan, seperti; perselisihan antara dua perempuan tersebut, siapa ibu dari anak yang telah lahir nanti. Apakah dia perempuan yang memiliki ovum atau dia perempuan yang hamil sampai melahirkan anak tersebut? Dan jika seandanya anak itu besar nanti sehingga memiliki hak material seperti waris dan sebagainya.
  1. Diharamkanya segala sesuatu yang mengakibatkan percampuran nasab sehingga tida jelas kepada siapa nasab anak tersebut.
  2. Permasalahan ini bisa mengakibatkan hilangknya anak dan jaminan kedua orang tua anak.
Di Amerika pernah ada kejadian seperti permasalaha yang sedang kita bahas, yaitu ada sepasang suami-istri bersepakat dengan seorang perempuan yang telah menikah. Mereka bersepakat menitipkan menitipkan sperma dan ovum sepasang suami-istri kepada perempuan yang telah menikah tersebut dengan imbalan uang sesuai kesepakatan. Praktek itu berjalan hingga perempuan yang menerima imbalan itu hamil dan melahirkan seorang anak, tetapi ternyata anak yang dilahirkannya tidak sesuai harapan, anak tersebut mempunyai kelainan. Anak itu lemah sehingga mengakibatkan otaknya kurang atau bisa disebut idiot, kekurangan ini diprediksi akan berlanjut sampai akhir hayat anak itu. Setelah melihat kejadian tersebut sepasang suami istri yang menitipkan sperma dan ovumnya tidaak mau mengakui anak itu sebagai anaknya bahkan tidak mau membayar sejumlah uang yang telah disepakati sebelunya, dengan alasan bahwa anak yang telah dilahirkanya bukanlah anak dari mereka. Melihat perkara ini akhirnya perempuan yang melahirkan anak itu menuntut haknya sesuai kesepakatan awal ke pengadilan. Dan kemudian diadakan tes DNA yang pada akhirnya diketahu siapa orang tua dari anak itu sebeenarnya. Tidak bisa mengelak lagi setelah tes DNA tersebut. Tetapi alangkah malangnya anak tersebut karena dikatakan membawa sial oleh kedua orang tuanya, sehingga di titipkan ke panti asuhan. Jauh dari ayah ibunya dan semua biaya hidup ditanggung oleh suatu perusahaan/persekutuan, bukan ditanggung oleh kedua orang tua anak itu. Mereka berdua tidak mau tahu lagi keadaan anak yang dikatakan pembawa sial itu. Na’udzubillahi mindzalik.
  1. Rahim dan farji keduanya sama-sama memiki tempat yang suci
Farji dan rahim keduanya adalah maksud dari istimta’ul jinsi dan yang menghasilhkan anak. Keduanya adalah anggota yang paling penting bagi seorang perempuan. Keduanya juga berperan sangat penting dalam kehamilan seseorang. Keduanya adalah hak khusus bagi suami.
Dan tidak bisa diragukan lagi bahwa ta’jirul arham atau ummul badilah adalah pemanfaatan rahim perempuan selain suaminya sendiri, dan yang seperti ini tidak diperbolehkan oleh syari’at isalam. Haram baginya melakukan hal semacam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar