Sebeelum
masuk dalam pembahasan, saya ingin membuat sebuah pernyataan terlebih dahulu.
Apa sebenarnya tujuan dari istijarul arham (penyewaan rahim) atau dalam
istilah lain ummul badilah (ibu pengganti). Dalam kesempatan pembahasan
kali ini kita akan bertanya, kepada siapa anak itu dinasabkan? Apakah dia anak
dari seorang ibu yang melahirkanya? Atau anak tersebut dinasabkan kepada
pemilik ovum yang menitipkan kepada perempuan yang mengandung itu?
Sebelum
mengerucut kepembahasan kita harus mengetahui apa pengertian dari istijarul
arham. Istijarul arham adalah penitipan sell ovum dan sperma dengan
cara disuntukan kedalam rahim perempuan lain sampai bisa mengandung darinya dan
akhirnya melahirkan dari hasil penitipan sell tersebut. Dengan imbalan uang
ataupun tidak karena sebab-sebab tertentu. Adapun alasan mengapa ada perempuan
yang menitipkan sell ovumnya kepada perempuan lain adalah karena rahimnya lemah
sehingga tidak bisa hamil, atau juga karena saking sayangnya terhadap tubuh
sendiri (menjaga kecantikan) atau juga karena takut hamil dan lain sebagainya.
Kejadian seperti ini sudah banyak terjadi di ’Barat’.
Dalam
kacamata agama, semua perbuatan manusia memiliki hukum syar’i. Semua itu tidak
luput dari lima hukum; wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Sekarang masuk kemanakah
hukum istijarul arham? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah
lebih baiknya saya menjelaskan suatu perkaya yang sangat penting. Betapa luas
dan subur fikih islam itu. Menjelaskan suatu hukum yang mencakup semua kehidupan
manusia. Tidak ada yang luput darinya.
Sebenarnya
masalah ini sudah dibahas oleh ulama salaf
abad dua puluh, dengan istilah yang berbeda. Salah satu dari beberapa
kitab yang menjelaskan masalah ini adalah fikih imam Syafi’i, pengarangnya
wafat sekitar 350 tahun yang lalu. Nama kitab tersebut adalah “حاشية البرماوي على شرح الغاية البن قاسم الغزي” yang dikarang pada awal
jumad el-tsaniah tahun 1074 H. kita menemukan mualif kitab tersebut mengatakan
“ketika dalam suatu pelajaran ada seseorang bertanya. Jika ada seseorang
memiliki dua budak perempuan, kemudia dia melakukan hubungan suami-istri dengan
salah satu dari budaknya sampai akhirnya hamil. Kemudian dia ambil sell yang
ada dalam budak yang hamil tersebut yang kemudian diletakan di rahim budak yang
satunya lagi, sampai pada akhirnya hamil dan melahirkan anak. Siapakah yang
menjadi ibu dari anak tersebut? Apakah budak yang mempunyai sell ovum atau
budak yang melahirkan anak tersebut? Para ulama kebingungan dalam menjawab
pertanyaan tersebut. Syeikh الشبرامليسي
menjawab, bahwa perempuan yang melahiirkan tersebut tidak bisa menjadi ibu dari
anak yang telah dia lahirkan, karena anak yang dilahirkanya bukan hasil dari
ovumnya dan mani tuanya. Adapun yang sangat masuk akal dan bisa diterima oleh
akal kita bahwa anak tersebut dinasabkan kepada perempuan pertama, dialah ibu
dari anak tersebut, karena anak tersebut berasal dari hasil ovumnya dan sperma
tuanya.” Dari penjelasan kalimat diatas, sudah jelas bahwa ulama fikih
terdahulu telah berpendapat bahwasanya janin dihasilkan dari pembuahan antara
zat ovum perempuan dan sperma laki-laki.
Sekarang kita masuk dalam pertanyaan awal, apa hukum
syar’i ummul badilah?
Masalah ummul badilah atau istijarul arham
masuk kedalam bab muharromaat dengan alasan dibawah ini:
- Tidak
adanya hubungan suami-istri antara yang punya sperma dengan perempuan yang
punya rahim.
Dalam
syari’at islam, permasalahan ini sudah menjadi sebuah keputusan syari’at Allah yang
mutlak, bahkan syari’at Allah semuanya. Adanya seorang anak yang disifati oleh
syari’at adalah anak dari hasil hubungan suami-istri yang syah sesuai koridor
syari’at islam, yaitu sesuai dengan nash qur’an dan hadis.
Didalam
permasalah yang kita temukan sekarang ini, antara laki-laki pemilik sperma dan
perempuan pemilik rahim tidak memiliki hubungan suami-istri yang sah secara
syar’i. Hamilnya seorang perempuan tersebut adalah hasil dari sperma laki-laki
yang bukan suaminya, adapun hubungan antara sperma laki-laki dan ovum perempuan
pertama yang disuntikan kedalam rahim ajnabiyah bukanlah termasuk dalam koridor
syari’at islam, sehingga permasalahan ini haram hukumnya bila dilakukan.
Allah SWT
berfirman:
و الله جعل لكم من أنفسكم ازواجا و جعل لكم من ازواجكم بنين و حفدة و رزقكم
من الطيبات أفبالباطل يؤمنون و بنعمته الله هم يكفرون
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri
dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat
Allah?"
- Kaidah
fikih yang menjelaskan hubungan antara hak berketurunan dari rahim
tertentu dan dihalalkanya memanfaatkan anggota tubuh pemilik rahim . dalam
permasalahan disini tidak ada hubungan seperti ini.
Kaidah
fikih itu berbunyi: “Setiap seseorang yang mempunyai hak istimta’ jinsi
dengan seorang perempuan maka dia memiliki hak juga di dalam memanfaatkan rahim
perempuan tersebut untuk hamil. Dan setiap orang yang tidak memiliki hak istimta’
jinsi dengan sorang perempuan maka dia tidak mempunyai hak memanfaatkan rahimnya unntuk
hamil.”
Nabi SAW
bersabda: “الولد للفراش و للعاهر الحجر”
maksudnya adalah seorang suami-istri dibolehkan memiliki anak dengan hubungan
yang syar’i, jika tidak ada hubungan secara syar’i maka baginya li'an.
- Rahim
adalah hak mutlak khusus bagi suami, tidak ada hak selainya.
Sudah dijelaskan
dalam syari’at islam, ada sesuatu yang bisa dijual/dibeli, disewakan, atau
bahkan dihibahkan. Seperti; makanan, minuman, baju, mobil, rumah, tanah kitab,
dan lain sebagainya.
Ada juga yang tidak bisa diperjualbelikan, disewakan,
ataupun dihibahkan, yaitu sesuatu yang sangat khusus. Tidak diperbolehkan
kepada sang pemilik untuk memberikan, menjualbelika, meminjamkan, menyewakan,
menyodaqohkan kepada orang lain. Seperti; istimta’ rojul dengan istrinya.
Maksudnya ada sesuatu yang khusus untuk sang suami yang tidak diperbolehkan
selainya kepada istrinya menikmati atau memanfaatka (istimta’) tubuh
istrinya; menciumnya, melakukan hubungan badan atau yang lainya yang telah
dijelaskan dalam kitab-kitab fikih islam. Tidak diperbolehkan juga bagi suami
mempersilahkan orang lain menikmati (istimta’) istrinya, seperti halnya
seorang isrti juga tidak boleh mempersilahkan orang lain menikmati (istimta’)
selain suaminya sendiri. Hak pemanfaatan rahim sangatlah khusus, hanya suami
yang diperbolehkan memanfaatkanya.
Dalam permasalahan ini, kita bisa mengatakan bahwa
masalah ini dipersamakan hukunya dengan zina. Karena hak rahim adalah hak
khusus bagi suami. Tetapi bukan makna zina yang hakiki, karena zina yang hakiki
adalah adanya hubungan laki-laki dan perempuan badan secara langsung tanpa ada
ikatan pernikahan secara syar’i.
- Syari’ai
islam tidak memperbolehkan segala sesuatu yang mengakibatkan adanya
perselisihan antar manusia.
Syari’at islam mengharamkan semua perkara yang
mengakibatkan perdebatan/perselisihan antara seseorang dengan yang lainya
didalam bermasyarakat. Alloh berfirman: ” janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”
surat al-anfal ayat 46.
Dan jika syari’at melarang segala
sesuatu yang menyebabkan perselisihan antar manusia, maka ta’jirul arham
akan mengakibatkan banyak perselisihan, seperti; perselisihan antara dua
perempuan tersebut, siapa ibu dari anak yang telah lahir nanti. Apakah dia
perempuan yang memiliki ovum atau dia perempuan yang hamil sampai melahirkan
anak tersebut? Dan jika seandanya anak itu besar nanti sehingga memiliki hak
material seperti waris dan sebagainya.
- Diharamkanya
segala sesuatu yang mengakibatkan percampuran nasab sehingga tida jelas
kepada siapa nasab anak tersebut.
- Permasalahan
ini bisa mengakibatkan hilangknya anak dan jaminan kedua orang tua anak.
Di Amerika pernah ada kejadian
seperti permasalaha yang sedang kita bahas, yaitu ada sepasang suami-istri
bersepakat dengan seorang perempuan yang telah menikah. Mereka bersepakat
menitipkan menitipkan sperma dan ovum sepasang suami-istri kepada perempuan
yang telah menikah tersebut dengan imbalan uang sesuai kesepakatan. Praktek itu
berjalan hingga perempuan yang menerima imbalan itu hamil dan melahirkan
seorang anak, tetapi ternyata anak yang dilahirkannya tidak sesuai harapan,
anak tersebut mempunyai kelainan. Anak itu lemah sehingga mengakibatkan otaknya
kurang atau bisa disebut idiot, kekurangan ini diprediksi akan berlanjut sampai
akhir hayat anak itu. Setelah melihat kejadian tersebut sepasang suami istri
yang menitipkan sperma dan ovumnya tidaak mau mengakui anak itu sebagai anaknya
bahkan tidak mau membayar sejumlah uang yang telah disepakati sebelunya, dengan
alasan bahwa anak yang telah dilahirkanya bukanlah anak dari mereka. Melihat perkara
ini akhirnya perempuan yang melahirkan anak itu menuntut haknya sesuai
kesepakatan awal ke pengadilan. Dan kemudian diadakan tes DNA yang pada
akhirnya diketahu siapa orang tua dari anak itu sebeenarnya. Tidak bisa
mengelak lagi setelah tes DNA tersebut. Tetapi alangkah malangnya anak tersebut
karena dikatakan membawa sial oleh kedua orang tuanya, sehingga di titipkan ke
panti asuhan. Jauh dari ayah ibunya dan semua biaya hidup ditanggung oleh suatu
perusahaan/persekutuan, bukan ditanggung oleh kedua orang tua anak itu. Mereka
berdua tidak mau tahu lagi keadaan anak yang dikatakan pembawa sial itu. Na’udzubillahi
mindzalik.
- Rahim dan farji
keduanya sama-sama memiki tempat yang suci
Farji dan rahim
keduanya adalah maksud dari istimta’ul jinsi dan yang menghasilhkan
anak. Keduanya adalah anggota yang paling penting bagi seorang perempuan.
Keduanya juga berperan sangat penting dalam kehamilan seseorang. Keduanya
adalah hak khusus bagi suami.
Dan tidak bisa diragukan lagi
bahwa ta’jirul arham atau ummul badilah adalah pemanfaatan rahim
perempuan selain suaminya sendiri, dan yang seperti ini tidak diperbolehkan
oleh syari’at isalam. Haram baginya melakukan hal semacam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar